Ada berbagai macam perselisihan pendapat (ikhtilaf) dalam perkara agama, dan hukum atas perbedaan pendapat tersebut berbeda-beda sesuai kadar yang diperselisihkan.
Dalam al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah (2/293-294) disebutkan macam-macam ikhtilaf tersebut, yaitu:
1. Perkara-perkara pokok agama (ushuluddin) yang ditetapkan oleh dalil-dalil qath’i, seperti adanya Allah ta’ala, keesaan-Nya, adanya malaikat-Nya, kitab-kitab yang diturunkan-Nya, kerasulan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, adanya hari berbangkit setelah kematian, dan semisalnya.
Perkara-perkara seperti ini tidak boleh ada ikhtilaf di dalamnya. Jika ada yang menyelisihi hal ini, maka ia telah kafir.
2. Sebagian perkara ushuluddin, seperti melihat Allah (ru’yatullah) di akhirat, Al-Qur’an bukan makhluk, keluarnya ahli tauhid dari neraka, dan yang semisalnya.
Sebagian ulama, seperti asy-Syafi’i menyatakan orang yang menyelisihi hal ini kafir hukumnya. Ada juga yang menyatakan bahwa kafir dalam perkara ini maksudnya adalah kufur nikmat.
Dan syarat agar orang yang menyelisihi perkara bagian ini tidak dihukumi kafir adalah ia wajib membenarkan apa yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jadi, jika ia terbukti secara jelas mendustakan apa yang disampaikan oleh Rasul maka ia kafir.
3. Perkara-perkara furu’ yang termasuk al-ma’lum min ad-diin bi dh-dharurah, seperti fardhunya shalat lima waktu, haramnya zina, dan semisalnya.
Perkara ini juga tidak membuka ruang untuk perbedaan pendapat. Yang menyelisihi hal ini juga dihukumi kafir.
4. Perkara-perkara ijtihadiyah yang dalil-dalilnya samar.
Perkara-perkara seperti inilah yang banyak terjadi ikhtilaf di tengah-tengah umat, dan hal itu ditoleransi. Ikhtilaf dalam hal ini bisa terjadi karena samarnya dalil yang ada, atau terjadi pertentangan antar dalil, atau perbedaan dalam menentukan tsabitnya dalil.
Yang juga ditoleransi dan dimaafkan adalah mujtahid yang menyimpulkan suatu hukum yang bertentangan dengan dalil yang shahih dan sharih karena ketidaktahuannya dengan dalil tersebut. Ia dimaafkan selama ia telah mencurahkan kemampuannya untuk mencari dalil dan berijtihad.
Dari sini bisa kita simpulkan, dari empat macam jenis perselisihan pendapat yang mungkin terjadi dalam perkara agama, hanya perkara keempat yang ditoleransi, sedangkan tiga perkara pertama haram hukumnya, bahkan yang menyelisihinya bisa dihukumi kafir, keluar dari Islam.
Wallahu a’lam bish-shawwab.
Abu Furqan Al-Banjari
Latest posts by Abu Furqan Al-Banjari (see all)
- Hukum Peringatan Hari Kelahiran Nabi yang Mulia - 1 November 2019
- Bolehkah Mengikuti Selain Madzhab yang Empat? - 1 Oktober 2019
- “Menyelisihi” Ulama Terdahulu, Belum Tentu Penyimpangan Beragama - 9 September 2019
Leave a Reply