Oleh: Abu Furqan Al-Banjari
Mari kita perhatikan ayat Al-Qur’an berikut ini:
وَلا تَزِرُ وازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرى
Artinya: “Seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain.” (QS. Al-Isra [17]: 15)
Imam Ibnu Katsir menyatakan makna potongan ayat ini adalah seseorang tidak akan menanggung dosa orang lain, dan seseorang yang berdosa akan menanggung dosanya sendiri. Menurut Al-Maraghi, ayat ini –berdasarkan riwayat dari Ibn ‘Abbas– turun terkait Al-Walid ibn Al-Mughirah, ketika ia berkata, “Ingkarilah Muhammad, dan dosa-dosa kalian menjadi tanggunganku”.
Ayat ini merupakan dalil yang sangat jelas tentang batilnya paham dosa turunan. Anak yang lahir dari orangtua pendosa, tidak akan disiksa karena dosa orangtuanya. Anak keturunan Adam tidak akan tertimpa dosa atas kesalahan Adam ‘alaihis salam di masa lalu. Setiap orang menanggung dosanya masing-masing.
Ayat ini juga mengajarkan kita untuk bersikap mandiri, tidak membebek pada orang lain. Kita tak bisa berkata misalnya, “Biarlah saya ikut dengan mereka, toh kalau ternyata mereka sesat, mereka yang akan menanggung dosanya”. Ini tidak benar. Dia tetap akan menanggung dosanya karena mengikuti kesesatan, padahal ia bisa memilih untuk tidak mengikutinya.
Lalu, apakah ayat ini bertentangan dengan ayat:
لِيَحْمِلُوا أَوْزارَهُمْ كامِلَةً يَوْمَ الْقِيامَةِ وَمِنْ أَوْزارِ الَّذِينَ يُضِلُّونَهُمْ بِغَيْرِ عِلْمٍ
Artinya: “(Ucapan mereka) menyebabkan mereka memikul dosa-dosa mereka sepenuhnya pada hari kiamat, dan sebagian dosa orang-orang yang mereka sesatkan yang tidak mengetahui sedikitpun (bahwa mereka disesatkan).” (QS. An-Nahl [16]: 25)
Dan firman-Nya:
وَلَيَحْمِلُنَّ أَثْقَالَهُمْ وَأَثْقَالا مَعَ أَثْقَالِهِمْ
Artinya: “Dan sesungguhnya mereka akan memikul beban (dosa) mereka, dan beban-beban (dosa yang lain) di samping beban-beban mereka sendiri.” (QS. Al-‘Ankabut [29]: 13)
Ibnu Katsir dan Al-Maraghi, begitu juga mufassir lainnya, sepakat bahwa ayat-ayat tersebut tidak bertentangan. Mereka menyatakan, para penyeru pada jalan kesesatan akan menanggung dosa atas kesesatan mereka sendiri, sekaligus menanggung dosa-dosa orang yang telah mereka sesatkan. Namun, orang-orang yang disesatkan tersebut tidak bebas dari tanggungan dosa, mereka tetap menanggung dosa atas kesesatan mereka.
Orang yang tersesat menanggung dosa atas kesesatannya. Sedangkan para da’i pada jalan kesesatan, akan menanggung dosa atas kesesatan dirinya dan dosa-dosa orang lain yang telah ia sesatkan.
Dosa yang menjadi beban orang-orang yang tersesat dari jalan yang haq saja begitu berat, apalagi dosa yang ditimpakan pada para da’i (penyeru) pada jalan kesesatan, tentu berkali-kali lipat beratnya. Wal ‘iyaadzu billah.
Rumitnya lagi, kebanyakan penyeru pada jalan kesesatan tersebut tidak sadar bahwa ia berada di atas jalan kesesatan dan sedang mengajak orang lain mengikuti kesesatannya. Ini yang disebut oleh Ibnul Qayyim dengan istilah fitnah syubhat. Orang yang terkena fitnah ini, menganggap dirinya sedang menyeru ke jalan Islam, padahal hakikatnya ia sedang mengajak ke jalan syaithan.
Semoga Allah menghindarkan kita dari jalan kesesatan, terlebih lagi menjadi penyerunya. Bagaimana cara menghindarinya? Para ulama menyatakan, cara paling penting adalah dengan ilmu. Semakin dalam seseorang memahami ilmu syari’ah, semakin jauh dirinya dari fitnah syubhat.
Wallahu a’lam bish shawab.
Abu Furqan Al-Banjari
Latest posts by Abu Furqan Al-Banjari (see all)
- Hukum Peringatan Hari Kelahiran Nabi yang Mulia - 1 November 2019
- Bolehkah Mengikuti Selain Madzhab yang Empat? - 1 Oktober 2019
- “Menyelisihi” Ulama Terdahulu, Belum Tentu Penyimpangan Beragama - 9 September 2019
Leave a Reply