Dalam beberapa kesempatan, baik di dunia maya maupun di dunia tak maya, saya berbicara tentang sulitnya menjadi seorang mujtahid, seorang yang memiliki kelayakan untuk menggali langsung hukum dari dalil-dalil syar’i, tanpa bertopang pada pendapat orang lain dari kalangan ahli ilmu.
Saya juga kadang mengkritisi sikap sebagian orang yang begitu mudah membid’ahkan, memungkarkan atau menyesatkan orang lain, hanya karena berbeda cara pandang dengan dirinya atas suatu perkara. Orang-orang seperti ini memiliki ciri yang cukup menonjol yaitu, (1) menafikan pendapat para ulama yang berbeda dengan pendapat yang diikutinya, (2) mengaku pendapatnya berlandaskan dalil yang kuat dan kokoh, sedangkan pendapat yang lain dalilnya lemah, taqlid buta atau mengikuti hawa nafsu, dan (3) membenci setengah mati istilah ‘taqlid’ walaupun secara praktik dan realita mereka sebenarnya adalah muqallid mutlak. Yang seperti ini saya istilahkan “muqallid ‘rasa’ mujtahid“.
Bagaimanapun, hal ini adalah benar. Menjadi mujtahid apalagi sampai sekelas Asy-Syafi’i atau An-Nawawi, adalah hal yang sangat tidak mudah. Dan berlagak seperti Asy-Syafi’ atau An-Nawawi saat membawakan nash-nash syar’i, padahal diri belum ada apa-apanya, adalah sikap tak tahu diri yang teramat akut. Sadar diri, ini poin utamanya.
Namun, saat saya menyampaikan hal ini, bukan berarti saya menyatakan bahwa mencapai derajat mujtahid itu hal yang mustahil. Sama sekali tidak. Bahkan, di tiap masa harus ada seorang mujtahid, untuk menjelaskan hukum syara’ terkait hal-hal baru yang muncul di masa itu. Mencapai kedudukan bahkan melampaui Asy-Syafi’i dan An-Nawawi pun bukan hal yang tak mungkin, ia mungkin-mungkin saja. Caranya, lakukan proses melebihi yang dilakukan oleh Asy-Syafi’i dan An-Nawawi.
Lalu bagaimana seharusnya? Seharusnya kita tahu diri. Jika belum berilmu, jangan berlagak seperti orang yang banyak ilmu, fatwa sana-sini, vonis sana-sini. Jika ilmu belum mapan, tidak usah masuk terlalu jauh pada perdebatan soal-soal khilafiyah, apalagi sampai pada penistaan seorang ahli ilmu, hanya karena berbeda pandangan dengan yang kita ikuti.
Jika memang benar-benar ingin menjadi mujtahid, yang harus dilakukan adalah belajar seserius mungkin sembari terus meminta pertolongan dan taufiq dari Allah ta’ala, bukan malah bergaya bak mujtahid sejak sekarang.
NB:
Penulis artikel jelas bukan seorang mujtahid. Ia hanyalah seorang muqallid ‘aammi yang sedang berusaha menjadi muqallid muttabi’, sembari tetap menjaga harapan suatu saat nanti layak menjadi seorang mujtahid. Suatu saat nanti, bukan saat ini.
Abu Furqan Al-Banjari
Latest posts by Abu Furqan Al-Banjari (see all)
- Hukum Peringatan Hari Kelahiran Nabi yang Mulia - 1 November 2019
- Bolehkah Mengikuti Selain Madzhab yang Empat? - 1 Oktober 2019
- “Menyelisihi” Ulama Terdahulu, Belum Tentu Penyimpangan Beragama - 9 September 2019