Oleh: Muhammad Abduh Negara
Imam Asy-Syafi’i menggunakan lima dalil secara berurutan dalam menetapkan suatu hukum. Beliau baru beralih ke urutan atau tingkatan berikutnya, jika tidak ditemukan dalil pada tingkatan di atasnya. Berikut tingkatan-tingkatan dalil tersebut.
Tingkatan Pertama
Imam Asy-Syafi’i merujuk kepada Al-Kitab dan As-Sunnah yang shahih. Beliau meletakkan Al-Kitab dan As-Sunnah dalam satu tingkatan. Hal ini karena dalam banyak keadaan, As-Sunnah berfungsi untuk menjelaskan isi Al-Kitab dan memperinci kemujmalannya (keglobalannya).
Hadits ahad –walaupun juga menjadi hujjah– berbeda tingkatannya dengan Al-Qur’an dari sisi kemutawatirannya.
Demikian pula, As-Sunnah tidak boleh bertentangan dengan Al-Qur’an. Dan jika tidak terdapat tambahan penjelasan dari As-Sunnah, maka beliau mencukupkan diri dengan Al-Qur’an.
Tingkatan Kedua
Beliau merujuk kepada Ijma’ ‘ulama jika penjelasan suatu hukum tidak terdapat dalam Al-Kitab dan As-Sunnah. Ijma’ ‘ulama yang dimaksud adalah ijma’ ‘ulama yang memiliki ‘ilm al-khaashshah. ‘Ilm al-khaashshah adalah ilmu diin yang khusus dipelajari oleh para fuqaha dan mujtahid, yang memerlukan pengkajian mendalam untuk meraih ilmu tersebut.
Ijma’ mereka ini menjadi hujjah bagi orang-orang yang datang setelah mereka.
Tingkatan Ketiga
Perkataan sebagian shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdasarkan ra’yu (pikiran) mereka, tanpa diketahui ada satu orang shahabat yang lain pun yang menyelisihinya. Menurut Imam Asy-Syafi’i, ra’yu shahabat lebih baik dari ra’yu selain mereka, termasuk ra’y beliau sendiri.
Tingkatan Keempat
Jika para shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berselisih pendapat dalam satu perkara, maka yang dipilih adalah yang paling mendekati kandungan Al-Kitab dan As-Sunnah, atau yang dikuatkan oleh qiyas. Dan tidak boleh meninggalkan pendapat mereka dan mengambil pendapat yang lain.
Tingkatan Kelima
Melakukan qiyas pada satu perkara yang telah diketahui hukumnya berdasarkan tingkatan-tingkatan sebelumnya, yaitu Al-Kitab, As-Sunnah dan Ijma’, sesuai urutannya. Maka, perkara yang belum diketahui hukumnya itu diqiyaskan dengan perkara yang telah disebutkan dalam nash, baik Al-Kitab maupun As-Sunnah, atau diketahui hukumnya melalui ijma’, atau ia sesuai dengan perkataan sebagian shahabat tanpa ada yang menyelisihinya, atau perkataan mereka yang terdapat perselisihan di dalamnya.
Wallahu a’lam bish shawab.
Rujukan:
Asy-Syafi’i, Hayaatuhu wa ‘Ashruhu, Araa’uhu wa Fiqhuhu, karya Syaikh Muhammad Abu Zahrah, hlm. 162-163.
Abu Furqan Al-Banjari
Latest posts by Abu Furqan Al-Banjari (see all)
- Hukum Peringatan Hari Kelahiran Nabi yang Mulia - 1 November 2019
- Bolehkah Mengikuti Selain Madzhab yang Empat? - 1 Oktober 2019
- “Menyelisihi” Ulama Terdahulu, Belum Tentu Penyimpangan Beragama - 9 September 2019
Leave a Reply